Jumat, 08 Oktober 2010

benarkah indonesia benua atlantis???





berdasarkan teorinya Prof. Santos. 
Musibah alam 
beruntun dialami Indonesia. 
Mulai dari tsunami di
 Aceh hingga yang 
mutakhir semburan
 lumpur panas 
di Jawa Timur. Hal itu
 mengingatkan kita 
pada peristiwa serupa 
di wilayah yang 
dikenal sebagai Benua Atlantis. 
Apakah ada hubungan 
antara Indonesia dan Atlantis?

Plato (427 - 347 SM) menyatakan 

bahwa puluhan ribu tahun lalu
 terjadi berbagai letusan gunung berapi 
secara serentak, menimbulkan gempa, 
pencairan es, dan banjir. 
Peristiwa itu mengakibatkan sebagian
 permukaan bumi tenggelam. 
Bagian itulah yang disebutnya benua 
yang hilang atau Atlantis. Penelitian
 mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, 


menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang 
sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan 
penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis, 
The Lost Continent Finally Found, 
the Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization (2005).

Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, 

cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, 
yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah 
Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indone
sia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi 
Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec 
di Meksiko. Konteks Indonesia Bukan
 kebetulan ketika Indonesia 
pada tahun 1958, atas gagasan Prof.
 Dr. Mochtar Kusumaatmadja 
melalui UU no. 4 Perpu tahun 1960, 
mencetuskan Deklarasi Djoeanda.

Isinya menyatakan bahwa negara Indonesia dengan perairan 

pedalamannya merupakan kesatuan wilayah nusantara. Fakta
 itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut Internasional 
1982. Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu
 tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu
 benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu
 pulau seperti halnya sekarang.

Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis

 merupakan benua yang membentang dari bagian selatan 
India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke 
arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai 
pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi 
yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama 
Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
 Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis 
merupakan benua yang
 hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan 
meletus. Pada masa itu sebagian besar bagian 
dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene).

Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi 

secara bersamaan yang sebagian besar terletak 
di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah 
sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang 
mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India
 Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/Mahameru di Jawa Timur
. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk 
Danau Toba dengan pulau Somasir, yang merupakan 
puncak gunung yang meletus pada saat itu.







Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah 

gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian 
Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat 
dataran Sunda. Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, 
yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower), 
Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol). Plato
 menegaskan bahwa
 wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat
 dari peradaban
 dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi
, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak 
Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang.

Pada masanya, ia bersikukuh bahwa bumi ini datar dan

 dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh.
 Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang berarti
 mengelilingi secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian
 ditentang oleh ahli-ahli di kemudian hari seperti 




Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan Stephen Hawking.

Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis.

 Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada saat
 terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan
 lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya
 bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut
 membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar
 biasa kepada kulit bumi di dasar samudera,
 
tekanan ini diperkuat 
lagi oleh gunung-gunung
 yang meletus kemudian
 secara 
beruntun dan
 menimbulkan
 gelombang tsunami
 yang dahsyat
. Santos 
menamakannya
 Heinrich Events.
 Dalam usaha 


mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia,
 tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai
 bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak 
benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang 
ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di
 wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan 
bekas-bekas benua yang hilang itu.

Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa

 yang berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.
” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih 
senang kepada kebenaran.” Namun, ada beberapa keadaan
 masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat.
 Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam
 itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai 
wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau 
panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia.

Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa,

 Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, 
Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian
 dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.
 Ketiga, soal semburan lumpur akibat letusan 
gunung berapi yang abunya tercampur air 
laut menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut
 ini kemudian meresap ke dalam tanah di daratan.

Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam

 yang merupakan impossible barrier of mud
 (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in navigable
 (tidak dapat dilalui), tidak bisa ditembus atau dimasuki.
 Dalam kasus di Sidoarjo, pernah dilakukan remote
 sensing, penginderaan jauh, yang
 menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut.

Ada kemungkinan kanalisasi itu bekas penyaluran

 semburan lumpur panas dari masa yang lampau.
 Bahwa Indonesia adalah wilayah yang dianggap 
sebagai ahli waris Atlantis, tentu harus membuat
 kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri
 di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis 
pada masanya ialah pusat peradaban dunia. 
Namun sebagai wilayah yang rawan bencana, 
sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah 
saatnya kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan
 perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir 
untuk dapat mengatasinya.






*** Penulis, Direktur Kehormatan International

 Institute of Space Law (IISL), Paris-Prancis